Sabtu, 23 April 2011

SID Bikin Histeris Puluhan Ribu Penonton Soundrena

Laporan: Persda Network/yon ( Tribun Timur )
Senin, 16 November 2009 | 14:10 WITA
TIDAK kurang 20 ribu penonton Soundrenaline di Garuda Wisnu Kencana (GWK) Bali, Minggu (15/11) dibikin histeris dengan penampilan Superman is Dead (SID). Band Punk Rock yang beranggaotakan tiga laki-laki, Bobby, Eka dan Jrx asal Bali tersebut menggebrak pangung Festival dengan lagu andalannya Luka Indonesia. Namun sebelumnya mereka bertiga terlebvih dahulu mengelilingi panggung dengan bersepeda, sebagai wujud dari kampanye global warming dan mengurangi gas emisi.

"Terus terang sejak lama kami melakukan kampanye dengan Bike to Work atau sekedar berkeliling dengan sepeda. Apalagi Bali jalannya sempit ini sebagai bentuk kampanye agar Bali tidak terlalu banyak gas emisi dan kampanye global warming dan ini sebagai bentuk pendekatan terhadap generasi muda di Bali dan seluruh Indonsia," papar Bobby.

Penampilan SID sejak awal memang ditunggu-tunggu fans beratnya apalagui mereka memang bersal di bali dan manggung di tempat tinggalnya sendiri dan mereka. Sejak sore penonton yang sudha berjubel memadati GWK teruaskan dengan penampilan Band punik yang telah mengeluarkan tiga album independen dan salah satunya berjudul Angels dan The Outsiders.

"Terus terang kami sangat bangga dengan penyelenggaraan Soundrenaline kali ini. Kami sebagai musisi terpuaskan dengan pembagian panggung terutama buat musik cadas. Pelaksanaan Soindrnealine kali ini jauh memuaskan bagi kami sebagai musisi. Kendati tadi sempat terkendala sedikit oleh audio," timpal Eka.

Sejauh ini SID selalu menyerukan perlawanan lewat lirik-lirik cerdas terutama di lagu Luka Indonesia dan menyuarakan nada-nada perjuangan melalui musik.

"Soal syair kita berupaya agar masyarakat kita educatif terhadap bahasa Inggris. Bahasa Inggris adalah bahasa universal dan ini bisa menjadi pendidikan buat pecinta di tanah air. Kami juga menyuarakan ketidak adilan di Indonesia dengan menggunakan dogma agama untuk meraih kepentingan kelompok atau kepentingan pribadi. Kami sebagai pemuda punya harga diri dan jati diri," tukas Jrx.

SID yang bulan lalu sempat mengikuti festival di Amerika mengaku, bahwa manggung di depan publik sendiri jauh lebih ouas dibandingkan mannggung di luar negeri.

SID, punk rock pioneers of Bali, were born and bred in Kuta Rock City. The band is three chord attitude-heavyyoung men in their 20s, by name:
"


Bobby Kool (owner of Electrohell, lead vocal, guitar,highly personable, a dog lover and a graphic designer)
"

Eka Rock (owner of Disposable Lies Merchandise and Multimedia, low ridin' familyman, beer drinker, laid back bass and backing vocal and a warm smilin' Rock 'N Roll bandman)
"

Jrx (owner of Lonely King, low ridin' beer drinking Rock 'N Roll prince charming, drummer and a hairwax junkie)

The name 'Superman is Dead' started its' evolution from Stone Temple Pilot's "Superman Silvergun". The name moved on to "Superman is Dead" cause they like

"Superman Is Dead" Gelar Konser Tanpa Dibayar

Jum'at, 11 Desember 2009 | 20:17 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Superman Is Dead bukan sekedar band yang memainkan musik hanya untuk musik. Band ini punya misi pendidikan di balik raungan musiknya yang keras. Maka, ketika Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengajaknya untuk memperingati hari Hak Asasi Manusia sedunia besok di Taman Ismail Marzuki, band asal pulau dewata ini langsung menyatakan setuju.

Menariknya, band yang beranggotakan Bobby Kool, vokalis sekaligus gitaris, Jerinx, penggebuk drum, dan Eka Rock, pembetot bass, tidak mematok bayaran. Band ini hanya meminta jaminan transportasi dan akomodasi selama ada di Jakarta. “Biar bagaimanapun kami juga butuh tempat buat istirahat dan tidur sejenak. Bali-Jakarta jauh sobat,” jawab dia kepada Tempo di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat, (11/12). Bersama lembaga pegiat kemanusiaan tersebut, SID akan menggelar panggung di pelataran TIM. Selain membawakan 15 lagu, band ini juga akan menyelipkan orasi kepada masyarakat dan pemerintah untuk menghargai perbedaan. “Kita akan mengajak Outsiders dan Lady Rose (sebutan fan SID) untuk menghargai sesama,” timpal Bobby Kool. Menurut Bobby Kool, antara SID dan lembaga tersebut mempunyai visi yang sama dalam melihat kenyataan Indonesia saat ini. “Kita melihat ketidakadilan masih ada di negeri ini seperti kemiskinan dan ada upaya penyeragaman kepada seluruh rakyat. Itu bisa dilihat pada UU pornografi,” tambah vokalis itu lagi. Bagi SID, pagelaran tersebut bertujuan mengingatkan kepada pemerintah dan masyarakat bahwa seharusnya HAM harus dihormati. Karena, selama ini sebenarnya pelanggaran HAM di Indonesia masih terus berlangsung. “Dan selama ada ketidakadilan dan pelanggaran, SID akan terus menyuarakan kritik melalui musik kerasnya,” ungkap Eka Rock.

Sabtu, 16 April 2011

kuta rock city


Superman Is Dead Berdiri Menantang!


Band pop masa kini yang notabene penjualan album dan ring back tone (RBT) laris manis di pasaran, ternyata belum tentu dapat meraih dan menarik perhatian publik serta penggemar fanatiknya pada situs jejaring sosial terpopuler tersebut.

Superman Is Dead, atau disingkat SID, terbukti berhasil mengumpulkan 1,373,229 penggemar pada situs Facebook. Angka yang tergolong fantastis dan di atas rata-rata untuk seukuran band yang tetap bertahan dari godaan pasar musik mainstream selama bertahun-tahun, serta tetap setia mengibarkan bendera dan menabuh genderang punk rock.

Band pop yang tengah berkibar saat ini semacam ST12 hingga detik ini hanya berhasil mengumpulkan 188,092 penggemar di situs Facebook, Diikuti Hijau Daun dengan 49,198 penggemar, Armada 639,167 penggemar, Radja 11,157 penggemar, D' Bagindas 36,495 penggemar, dan Wali dengan 23,419 penggemar. Laku di pasaran bukan jaminan populer di ranah maya.

"Menurut gue sih ini fenomena yang nggak aneh. Karena SID cukup lama tergabung dengan major label, otomatis dipromosikan secara luas oleh major label. Apalagi rilisan-rilisannya cukup diminati masyarakat," jelas Harlan Boer atau yang lebih dikenal dengan nama Bin, sang A&R label Jangan Marah Records.

Lebih jauh Bin menjelaskan, SID termasuk band yang sudah duluan besar namanya sebelum ada situs Facebook. Jadi, Facebook berguna sebagai sarana promosi 'lanjutan' setelah berpromosi di media-media massa konvensional.

"Kurang lebih seperti fenomena presenter-presenter TV dengan jumlah follower Twitter yang begitu banyak. Masyarakat pengguna Facebook dan Twitter sudah kenal mereka duluan sebelum Facebook dan Twitter lahir," tutur Bin.

Jadi, kata dia, begitu mereka bergabung dengan Facebook dan Twitter, orang-orang sudah aware siapa SID. Fungsi jejaring sosial bagi SID saat ini berbeda dengan fungsi internet ketika mereka baru merilis EP mereka bersama Spills Records.
Dulu SID menggunakan mailing list internet untuk memperkenalkan siapa mereka. "Kalau sekarang mereka memakai internet lebih ke arah untuk me-maintain nama mereka," tambah Bin.

Menurut Bonny Sidharta, sang pencabik bas band metal Deadsquad dan Raksasa, pencapaian SID ini sangat fenomenal.

"Mereka tidak berada di wilayah mainstream. Gue tahu banget tidak gampang untuk mendapat kepercayaan seperti itu. Untuk sebuah band yang ada di luar kuping mainstream sih buat gue mereka itu dahsyat. Kalo patokan ke band-band pop melayu jelas yang nonmelayu lebih punya pasar," jelas Bonny.

Ia menjelaskan, di kalangan melek internet, fans-fans pop melayu itu tidak ada yang loyal. Mereka terbiasa nonton ajang pertunjukan musik yang diadakan sponsor tanpa mengeluarkan uang. "Berbeda dengan band-band komunitas. Dan SID, sebesar apapun buat gue, mereka tetap band komunitas dengan fans yang loyal,” ungkap Bonny.

Superman Is Dead adalah band pionir punk rock asal Bali yang lahir dan dibesarkan di kawasan Kuta. SID digawangi tiga pemuda tampan dengan attitude khas mereka, yaitu Bobby Kool (vokal, gitar), Eka Rock (bas dan backing vokal), dan Jerinx atau lebih dikenal dengan Jrx (drummer).
Revolusi three-chords SID sukses merasuki jiwa anak muda di seluruh belahan tanah air. SID berusaha memberikan jawaban dari teriakan dan protes sumbang kaum muda.

Disaat media elektronik berlomba-lomba menayangkan gelombang invasi pop yang seragam, SID tetap berdiri dengan gagahnya tampil diseluruh media dengan mengusung genre punk rock yang di padu dengan outfit rockabilly, tanpa mengurangi ciri khas mereka sedikit pun.
Bermula pada 1995 di Bali, lalu di tahun-tahun berikutnya mereka mulai menghantam dan mendobrak sejumlah pemikiran ortodoks dan mekanisme industri musik Tanah Air. Konsistensi yang patut diacungi jempol serta sikap yang kuat melandasi perjalanan Superman Is Dead.

Pandangan miring tentang mitos kebrutalan punk rock perlahan sirna di tepis oleh sisi edukatif Jerinx dan kawan-kawan. Mereka memberi pesan sederhana bagaimana cara menikmati hidup dengan sebaik-baiknya, dan berusaha mempersatukan segala perbedaan di bawah bendera perdamaian dan musik

Personil

Nama : Eka Rock
Tempat/tgl lahir : Negara, 8Februari 1975
Pendidikan : Sastra Inggris, Faksas Unud
Nama : Bobby Kool
Tempat/tgl lahir : Denpasar, 8September 1977
Pendidikan : Sastra Inggris, Faksas Univ. Warmadewa Denpasar
Nama : Jerinx
Tempat/tgl lahir : Kuta, 10Februari 1977
Pendidikan : Fakultas Ekonomi, Undiknas Denpasar

Jumat, 08 April 2011

foto-foto gaul













kaos S.I.D



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

"SID" Siapkan Album Kolaborasi dengan Inul & Iwan Fals

Malang - Grup musik beraliran rock asal Bali, "Superman Is Death" (SID), akan menyiapkan album barunya yang kedelapan dengan kolaborasi penyanyi dangdut, Inul Daratista.

Salah satu vokalis grup tersebut, Boby, Sabtu, dalam keterangan persnya di Kota Malang, Jawa Timur, mengatakan, setelah album sebelumnya yang berkolaborasi dengan grup musik "Shaggy Dog" sukses di belantika musik Indonesia, grupnya yang beraliran punk rock ini berencana membuat album baru dengan kolaborasi penyanyi dangdut Inul Daratista.


"Kami sejak awal memang memimpikan kolaborasi dengan Inul, namun masih belum terlaksana. Mudah-mudahan kolaborasi album berikutnya tahun depan dengan Inul terlaksana serta disuka oleh anak muda yang mayoritas penggemar kami," katanya.


Alasan kolaborasi ini, menurut Boby, yakni apa yang dialami Inul selama terjun ke belantika musik Indonesia sama seperti konsep setiap album yang dikeluarkan "SID".

"Inul yang kali pertama tampil dan dihujat oleh sejumlah orang, namun dia berani tampil memberontak, adalah sama seperti konsep album kami, yakni tentang pemberontakan terhadap kreativitas seni," katanya.

Oleh karena itu, SID merencanakan album mereka yang kedelapan dengan kolaborasi penyanyi dangdut Inul Daratista.

Sementara itu, salah satu drumer "SID", Jerix, mengatakan, selain kolaborasi dengan Inul, pihaknya juga berencana mengajak kerja sama dengan Iwan Fals dalam album baru tersebut.


"Kemungkinan kita juga ajak Bang Iwan sebab kami salut dengan sejumlah lagunya Bang Iwan yang bertema sosial dan tentang pemberontakan masyarakat terhadap sistem di negeri ini," ujarnya.

Meski aliran Inul dan Iwan Fals sangat berbeda dengan grup "SID", Jerix dan sejumlah personel SID optimistis tidak akan membuat aliran mereka berubah.

"Meski kami mengajak kerja sama dengan mereka berdua, masih ada benang merah dalam album tersebut. Dan, kami tidak akan pindah dari jalur punk rock," katanya.

SID Vs Dunia


No Image Preview
No Image Preview
No Image Preview

SID vs Dunia! 

Well, sebuah berita gembira baru saja menghampiri Indonesia. Pengakuan tak terbantahkan datang dari Billboard, sebuah media musik maha kredibel dari Amerika Serikat, negara yang -suka atau tidak- masih relevan disebut sebagai 'penentu arah' dunia hiburan global. 

SID masuk dalam daftar 50 Artis Billboard Uncharted. Menurut data yang didapat Billboard melalui program research dan seleksi nya, SID terbukti memiliki fanbase dengan tingkat interaksi, intensitas dan loyalitas tinggi.

Perlu dicatat bahwa di Billboard Uncharted, SID bersaing dengan band/musisi dari seluruh dunia. Inilah persaingan global yang sebenarnya.

Masuknya SID ke dalam daftar ini otomatis menjadi sebuah pengakuan solid bahwa Indonesia memiliki potensi seni modern. Bahwa Indonesia layak diperhitungkan. Pengakuan bahwa Indonesia bisa.

Dan kami, SID, sangat bangga bisa menjadi alasan kenapa pengakuan itu hinggap disini, di negara ketiga ini.

Tentu saja ini semua tidak akan terjadi tanpa kerjasama, baik secara langsung ataupun tidak. Analogi nya, SID meletupkan api, para pemberontak menyalakan obor dan berlarian membawa bara dari Sabang sampai Merauke, sampai ke negara seberang dan tersiar hingga pelosok dunia.

Karena itu, rasa terima kasih terdalam kami untuk kesetiaan tiada henti para loyalis SID (Outsiders/LadyRose). Kami sangat percaya, kalian adalah api-api kecil yang suatu saat akan membakar kemunduran di negeri ini. Dan selama kalian ada, api ini tidak akan pernah padam.

Juga rasa terima kasih yang tulus kami untuk para simpatisan, oposan dan (sedikit) media/jurnalis yang bisa mengapresiasi, membaca dan membahasakan SID dengan adil.

Semua ini tidak akan terjadi tanpa eksistensi cinta, rasa benci dan rindu kalian.

Kami berharap pengakuan besar ini bisa memberi sinar di wajah muram Indonesia dan memotivasi para anak bangsa untuk bangkit, merobohkan semua tembok penjara dan menjadi legenda di wilayah kerja nya masing-masing.

Kemenangan ini adalah hasil kerja keras kita semua, anak-anak muda Indonesia, yang tanpa pernah lelah meneriakkan rasa cinta dan cita-cita nya untuk perubahan yang lebih baik di negeri ini.

Cheers!
Jrx

3 Rebels, Million Outsiders


3 Rebels, Million Outsiders
Kisah tiga punk rocker Pulau Dewata yang menaklukkan kejamnya industri musik dan kini berjutaan fans




Setidaknya begitulah stereotipe pada SID: beer, glam, tato, punk. Maka demi menghormati mereka, saya pesan bir, bukan es teh, es jeruk, atau jus sore itu sambil menunggu SID selesai latihan di studio mereka, akhir Januari lalu.
Demi menghormati tuan rumah, saya memesan bir ketikawaitress Twice Bar, Kuta, bertanya minuman apa yang saya mau. Pemilik bar ini adalah I Gede Ari Astina, frontman dan tukang gebuk drum Superman is Dead (SID) yang lebih akrab dengan panggilan Jerinx. Memisahkan SID dengan bir, ibarat memisahkan hujan dan mendung, sesuatu yang sangat jarang terjadi.

Sekitar 15 menit kemudian, usai latihan, personel SID naik ke lantai dua, tempat di mana saya menunggu bersama Dodix, manajer SID, dan Yenny dari manajemen SID. Seorang perempuan yang mengaku sebagai Lady Rose juga ada di sana. Vokalis sekaligus gitaris SID I Made Putra Budi Sartika (Bobby Kool) serta bassist merangkap vokalis latar I Made Eka Arsana (Eka Rock) datang. Jerinx menyusul kemudian.
Sore itu tak ada pengunjung lain di bar di Poppies II, gang salah satu cikal bakal pariwisata di Kuta, bahkan Bali, sehingga menjadi gemerlap seperti saat ini. Jerinx mengajak kami duduk di pojok bar berdinding motif kotak-kotak hitam putih dan poster-poster vintage itu. Ini bukan pertemuan pertama saya dengan mereka. Tapi ini pertama kalinya saya main dan bertemu mereka di Twice Bar, tempat SID sering berkumpul, latihan atau bikin acara dengan para penggemarnya.

Bukannya memesan bir, Eka dan Bobby malah “cuma” pesan minuman a la anak kos, teh dan jeruk manis hangat. Mereka tak meminum bir sama sekali di antara obrolan kami selama hampir tiga jam tersebut, tidak juga bagi Jerinx yang secara fisik terlihat paling rebel dengan tato di seluruh tubuhnya. Sejujurnya, sebelum bertemu, saya sudah berasumsi obrolan itu akan dipenuhi bir atau rokok tanpa henti. Ternyata tidak juga. Selama wawancara, Eka, Bobby, maupun Jerinx sama sekali tak minum bir, hal yang sering mereka perlihatkan saat di atas panggung.
SID dikenal sebagai bad boy atau malah rebel. Dengan musik punk, badan penuh tato, serta lirik-lirik lagu penuh kritik sosial, SID mudah diidentikkan sebagai rebel. Paling tidak mantan manajer SID Rudolf Dethu menyebut begitu. Karena citra rebel ini, mereka bisa menjadi salah satu band dengan jumlah penggemar terbesar di Indonesia. “Mungkin anak-anak sekarang menemukan sosok bad boy pada SID setelah era Slank. Makanya SID punya jutaan penggemar sekarang,” kata Dethu.

Besarnya pengaruh SID dibuktikan dengan masuknya mereka dalam Billboard Uncharted di urutan ke-23 hingga Februari lalu. Di situsnya, Billboard menyatakan bahwa Uncharted ini merupakan daftar musisi baru ataupun berkembang yang belum masuk di Billboard Chart, tanpa mempertimbangkan asal negara musisi. Uncharted didasarkan pada penampilan musisi di mediaonline termasuk jejaring sosial, seperti MySpace, Facebook, Twitter, Last.fm, iLike, Wikipedia, dan seterusnya.
Daftar ini memang bukan peringkat mingguan yang biasa mereka keluarkan sebagai paramater musisi, band maupun penyanyi, dengan tingkat penjualan album tertinggi di Amerika Serikat. SID adalah band Indonesia pertama yang masuk peringkat ini. “Kami tidak terlalu kepikiran akan masuk sana. Billboard jauh dari lirik lagu SID. Kalau masuk Grammy sih ingin,” kata Jerinx.

Informasi masuknya SID dalam Billboard Uncharted ini mereka peroleh dua minggu sebelum kami bertemu untuk artikel ini. Pemberitahuan itu dikirim lewat email oleh Evy Nogy, Editor Billboard. “Mungkin mereka melihat aktifnya kami dalam penggunaan Facebook untuk fans group. Kami tidak hanya memberikan informasi tentang band tapi juga ada interaksi dengan penggemar.
Itu mungkin jadi perhatian Billboard pada kami,” kata Eka. “Prinsipnya, mereka melihat intensity, loyality, and activity di Facebook. Banyak band lain yang mungkin punya penggemar lebih banyak tapi kurang aktif dibanding kami. Jadi, peng-hargaan ini bukan hanya dari sisi kuantitas tapi juga kualitas,” tambah Jerinx.

SID memang termasuk band yang aktif di jejaring sosial, termasuk Facebook. Hingga awal Februari lalu, jumlah penggemar Superman is Dead di Facebook mencapai  hampir 1,8 juta orang. Untuk ukuran musisi Indonesia, jumlah ini adalah yang terbesar. Bandingkan misalnya dengan Slank yang punya 833 ribu penggemar, ST 12 dengan 808 ribu penggemar, atau yang paling mendekati adalah Ungu dengan 1,6 juta penggemar.
Namun banyak-nya penggemar juga bisa banyaknya musuh, atau setidaknya “pengawas”. Sebab, 1,8 juta penggemar di Facebook tidaklah berarti semua memang penggemar musik dan lirik band punk kelahiran Kuta ini. “Tidak semua penggemar di Facebook suka SID. Banyak yang ikut di Facebook hanya untuk melihat hal negatif tentang kami,” kata Jerinx.
Perjalanan SID memang tak bisa dilepaskan dari “musuh”, terutama di kalangan musisi punk. Mereka menerbitkan tiga album pertamanya secara indie. Pada tahun 1997, band yang lahir di Kuta ini mengeluarkan album Case 15. Dua tahun kemudian mereka mengeluarkan album sesuai nama band mereka sendiri, Superman is Dead. Album terakhir mereka di jalur indie, Bad, Bad, Bad, terbit pada 2002. Setahun kemudian, mereka dikontrak major label, Sony BMG.
Bersama label ini, hingga saat ini SID telah mengeluarkan empat album, yaitu Kuta Rock City(2003), The Hangover Decade (2005), Black Market Love (2006), dan Angels & the Outsiders(2009). Karena sejarahnya dekat dengan musik indie, maka ketika akhirnya SID dikontrak major label, banyak anak punk nyinyir pada mereka.

Tak hanya nyinyir, sebagian anak punk mewujudkan kebencian tersebut melalui kekerasan pada SID, terutama ketika mereka konser. Di Singaraja, Bali, mereka pernah dilempari batu ketika konser. Di Medan dan Yogyakarta, mereka mengalami kekerasan lebih parah yang bahkan mereka sebut sebagai tindakan barbar. Di Medan, kekerasan terjadi ketika mereka tampil di Universitas Sumatera Utara (USU) pada 7 Oktober 2003, beberapa saat setelah mereka dikontrak Sony BMG.
Sebelum konser dimulai mereka mengaku sudah mendapatkan atmosfer tak enak. Ada selebaran anti SID berisi tulisan “Menjadi Rock Star adalah pilihan. Menjadi Punk Rock Star adalah pengkhianatan.” Aroma kebencian makin terasa ketika SID tampil. Pada lagu kedua, sebagian penonton berpakaian street punk mulai mengeluarkan caci maki ke SID dengan sebutan, “Pengkhianat. Pengkhianat!”
Lalu umpatan itu disertai dengan bentuk kekerasan fisik. Botol air mineral, botol bir, sandal, sepatu, batu, bambu penyangga umbul-umbul, bahkan monitor melayang ke atas panggung.

Bobby dan Eka yang di depan harus menyanyi sambil menghindari semua serangan tersebut. Apalagi saat itu sudah malam sehingga lemparan-lemparan sering tak terlihat. “Mereka yang anti SID ini sebenarnya sedikit dibanding jumlah penonton. Tapi karena aksinya berani dan kasar, maka mereka terlihat menonjol,” kata Rudolf Dethu, manajer SID saat itu.
Masuk lagu keenam, kekerasan itu terus berlanjut. Sampai akhirnya pada lagu keenam, tiga personel SID memutuskan tidak melanjutkan penampilan. Mereka berhenti dan lari ke belakang panggung dengan teriakan dan umpatan yang tidak juga berhenti. Suasana kacau. Bahkan ketika masuk mobil menuju hotel pun mereka masih dikejar-kejar anak-anak street punk tersebut.

Kejadian sama terulang lagi ketika mereka tampil di Yogyakarta, persis sehari setelah tampil di Medan. Mereka dilempari sebagian dari ribuan penonton yang menonton konser SID di Kota Pelajar itu. Saat itu mereka tampil di kampus Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta. Baru pada lagu kedua, sebagian penonton berpakaian street punk bikin huru-hara. Salah satunya bahkan naik ke panggung setelah pura-pura pingsan dan dibawa ke belakang panggung lalu berlari memukul Bobby, vokalis SID. Bobby balik memukul, begitu pula sebagian panitia dan keamanan konser. “Aku ikut-ikutan menghajarnya. Ha-ha-ha,” kata Dethu. Karena suasana kacau, ketiga personel SID dibawa ke masjid kampus UPN agar terhindar dari kekacauan lebih besar.
Kekerasan di Singaraja, Medan, dan Yogyakarta terjadi akibat tuduhan bahwa SID telah sell out, mengkhianati punk dengan masuk ke major label. “Mereka yang benci SID karena masuk major label itu karena indoktrinasi. Mereka punya fanatisme berlebihan terhadap ideologi tertentu termasuk punk. Mereka sama saja dengan fundamentalis. Mereka berasumsi semua yang masuk major label itu brengsek. Padahal tidak juga. Ketika masuk, kami tawar-menawar dulu dengan label. Tapi mereka [anak punk yang benci SID] tidak tahu proses itu. Mereka pikir kami melacur dengan kirim demo dan semacamnya. Itu tidak benar. Label yang cari kami, bukan sebaliknya,” kata Jerinx.
Bobby menimpali, “Orang kalau sudah terindoktrinasi cenderung pakai kaca mata kuda, melihat kebenaran hanya dari satu sisi.” Mereka menambahkan sekali lagi, street punk pembenci SID ini sebenarnya berjumlah sangat sedikit dibanding anak-anak punk lain, yang meski tidak setuju dengan pilihan SID masuk major label namun tetap menjaga persaudaraan maupun menikmati konser SID.

SID punya alasan tersendiri kenapa mereka akhirnya masuk major label. Pertama, lebih menghasilkan dibanding indie label. “Selama delapan tahun main di indie, kami tidak pernah menikmati hasilnya. Jadi kalau bisa dapat major label yang tidak membatasi kami dalam bermusik pasti bagus,” kata Bobby. Mereka bercerita ketika masih di indie, membeli senar gitar saja susah. Mereka pakai sandal untuk simbal. Pakai pick gitar dengan tutup bungkus sabun colek.
“Biar hemat, kami harus merebus senar gitar yang habis dipakai supaya senarnya bagus kembali,” tambah Eka. Parahnya lagi, sering sekali mereka mendapat jawaban klise dari distro yang menjual kaset mereka. “Masak kalian tidak percaya, sih, sampai menagih terus pada kami,” adalah jawaban generik yang diberikan tiap kali anak-anak SID menanyakan hasil penjualan album. Setelah masuk major label, mereka kini menikmati hasil bermusiknya. Bisa punya studio sendiri. Undangan manggung juga datang dari mana-mana meski bayaran mereka saat ini antara Rp 40-50 juta.
Mereka menepis tuduhan bahwa mereka melacur. Jika sebagian band mengemis pada major label agar dikontrak, maka tidak demikian dengan SID. Menurut Dethu, mereka tidak pernah menawarkan CD demo pada major label tapi justru sebaliknya, mereka dicari melalui perantara teman. “Kami berikan CD ke Pak Yan Djuhana [bos Sony BMG] . Lalu beberapa bulan kemudian dia telepon kami mengajak rekaman. Tentu saja kami senang. Tapi tawaran ini juga jadi perdebatan kami secara internal apakah diterima atau tidak,” kata Dethu. Ketakutan Jerinx, Bobby, Eka, dan Dethu saat itu karena mereka takut dianggap selling out oleh komunitas punk.

Setelah negosiasi cukup alot, SID lalu sepakat menerima tawaran tersebut dengan sejumlah syarat, seperti komposisi dan lirik yang digunakan. Karena terbiasa menggunakan bahasa Inggris, SID meminta agar semua lagu ditulis dalam bahasa Inggris. Sebaliknya, pihak Sony BMG justru minta semua dalam bahasa Indonesia. Komprominya kemudian adalah materi lagu terdiri dari 70 persen bahasa Inggris, 30 persen bahasa Indonesia. Jadi, dari 14 lagu pada album pertama, empat di antaranya berbahasa Indonesia, 10 menggunakan bahasa Inggris. “Itu bentuk kompromi kami dengan major label. Kami justru belajar membuat lirik bahasa Indonesia setelah kontrak dengan major label. Kalau ada  keterlibatan lain Sony BMG dalam pemilihan lagu, lebih pada urutan lagu dalam album. Bagi kami, tidak masalah urutannya. Toh semuanya lagu kami sendiri,” kata Jerinx.

Di bawah salah satu label terbesar di Indonesia, distribusi album pertama SID bersama Sony BMG langsung naik ratusan kali lipat. Kalau zaman indie mereka paling banyak bisa jual 400 keping kaset atau maksimal 1.000 keping, sekarang mereka bisa distribusi album hingga 400.000 copy. Ini alasan kedua kenapa SID mau rekaman di bawah major label. “Buat apa bikin musik bagus kalau tidak didengar orang lain? Seidealis apa pun musisinya, pasti dia ingin didengar,” ujar Jerinx.

SUPERMAN IS DEAD : NAIK PERINGKAT DI BILLBOARD UNCHARTED


SUPERMAN IS DEAD : NAIK PERINGKAT DI BILLBOARD UNCHARTED

Tembus 15 besar.  

(Penulis : m.mazidil kamal)
Kiprah Superman Is Dead dalam tangga Billboard kategori Uncharted semakin terang. Setelah di minggu lalu bertengger di posisi 23, kini band yang digawangi oleh Bobby Kool (vokal/gitar), Eka Rock (bass) dan Jrx (drum) tersebut sukses menembus 15 besar tepatnya di peringkat 14. 
Posisi ini jelas cukup mengejutkan di mana SID lompat langsung 9 angka dan meninggalkan band-band yang cukup dikenal lainnya seperti Architect dan Enrer Shikari. Momen ini nggak hanya membuat para personil SID dang penggemarnya tersenyum, tetapi juga blantika musik Indonesia. Semoga saja menjadi penyemangat bagi Indonesia untuk terus menunjukan kualitas musiknya di mata dunia. Salut!

Tiga Tukang di Balik Jutaan Penggemar


Tiga Tukang di Balik Jutaan Penggemar


Teks dan Foto Anton Muhajir
Di balik nama besarnya, tiga personil SID hidup sederhana. Jauh dari gemerlap musisi dengan jutaan penggemar.
Cerita berbeda itu saya dapatkan setelah membuat liputan tentang Superman is Dead (SID) untuk majalah Rolling Stone Indonesia. Sebelum liputan ini, saya mengenal SID dan tiga personilnya hanya dari sumber lain. Misalnya dari media massa atau teman mereka yang juga teman saya.
Dalam beberapa kesempatan, saya juga bertemu mereka. Tapi, tidak ada komunikasi secara personal. Hanya say hallo pada mereka, lalu mereka membalasnya. Beberapa kali saya nonton konser mereka, meski saya tak menikmatinya karena pada dasarnya saya memang tidak suka nonton konser bersama ribuan orang. Saya agak takut dengan keriuhan.
Berita media, obrolan teman, dan penampilan di panggung melahirkan kesan (image) di otak saya tentang SID: berangasan, gemerlap, dan selebritis. Kesan itu didukung ikon-ikon yang menempel, sengaja maupun tidak, pada SID dan tiga personilnya: tato, bir, punk, glam, rebel, dan semacamnya.
Awal Februari lalu, band yang lahir di Kuta pada tahun 1995 ini masuk Billboard Uncharted urutan ke-14. Dua minggu sebelumnya mereka ada di urutan ke-23. Masuknya, SID dalam Billboard Uncharted ini karena popularitas dan intensitas mereka di jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, MySpace, dan seterusnya.
Di Facebook, merekalah musisi Indonesia dengan penggemar terbanyak: hampir 1,8 juta fans!
Masuk Billboard karena punya hampir 2 juta orang? Wow! SID di otak saya makin jadi  band yang besar dan gemerlap. Begitu pula dengan tiga personilnya, I Made Putra Budi Sartika alias Bobby, I Made Eka Arsana alias Eka, dan I Gede Ari Astina alias Jerinx.
Tapi, aaah, stigma memang berbahaya. Begitu juga kesan saya tentang mereka. Setelah kenal secara personal, setidaknya lewat beberapa hari reportase, wawancara, dan pemotretan, saya jadi tahu bahwa stigma, kesan, anggapan, dan semua asumsi itu tak sepenuhnya benar.
Sebaliknya, mereka terlalu biasa untuk ukuran band dengan penggemar terbesar di negeri ini sekaligus musisi pertama dari Indonesia yang masuk daftar majalah musik bergengsi dunia, Billboard.
Tanpa Bir
Kesan bahwa SID itu angker pelan-pelan runtuh pas wawancara dengan mereka di Twice Bar, Kuta. Ini wawancara pertama bersama mereka.
Sebelum berangkat, saya sudah berpikir bahwa obrolan tiga jam itu akan dipenuhi asap rokok dan bir. Ternyata saya keliru. Tidak ada bir sama sekali selama wawancara tersebut. Eka si basis dan vokal latar hanya memesang teh hangat. Bobby, vokalis dan gitaris, pesan jeruk hangat. Jerinx, yang juga pemilik Twice Bar malah tidak minum sama sekali. Padahal, hampir tak pernah saya melihat mereka tampil tanpa bir, terutama di Bali.
Beberapa hari kemudian saya baru tahu alasan mereka kenapa tidak terlalu banyak minum bir. “Sudah makin tua. Kami makin mengurangi minum bir. Beda dengan dulu,” kata Bobby.
Di kesempatan lain I Gede Ardi Suryana alis Dodix, manajer SID, kemudian menambahkan cerita tentang ritual minum bir ini. Menurutnya, personil SID paling hanya minum bir ketika akan tampil. “Biasalah ritual kecil,” katanya.
Di luar itu, mereka termasuk jarang minum bir. Jauh dari kesan saya tentang mereka.
Begitu juga dengan rokok. Mereka terhitung tidak terlalu sering merokok setidaknya kalau dibandingkan teman-teman saya yang tukang hisap. Hehe.. Padahal, saya sudah berpikir bahwa selain peminum bir kelas advance, mereka juga perokok berat. Ternyata tidak berat-berat amat. Bobby malah bukan perokok sama sekali. “Hanya kadang-kadang merokok untuk keperluan sosial,” akunya.
Nasi Bungkus
Kesederhanaan SID juga terasa ketika kami bertemu di Radio Hard Rock, Kuta sekitar dua minggu setelah pertemuan pertama kami di Twice Bar. Pagi itu SID siaran di radio sebagai bintang tamu konser Outloud di Central Parkir Kuta.
Ketika saya tiba di sana, di kamar sempit tempat siaran Hard Rock ini sudah ada Jerinx yang memang tinggal di Kuta dan Bobby bersama Dodix manajer mereka. Eka belum terlihat.
Pas siaran sudah berjalan, Eka baru datang. Dia juga bawa sarapan. Sederhana banget yang dia bawa: nasi bungkus! Tepatnya nasi dengan bungkus plastik. Sepertinya ini nasi bungkus beli di pantai Kuta. Sayangnya, saya lupa tanya di mana beli nasi bungkusnya. Hihihi..
Dengan tarif tiap manggung antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta, meski juga kadang gratis kalau teman sendiri, personil SID masih mau makan nasi bungkus seharga Rp 5.000. Salut.
Nasi bungkus pula yang mereka makan ketika kami bertemu Kamis pekan lalu pada sesi foto bersama teman saya, Den Widhana, blogger yang juga web designer dan fotografer.
Hari itu seharian saya dan Deni memotret mereka secara bergantian. Pas jam makan siang tiga personil SID dan beberapa staf manajemen mereka berkumpul di kantor SID di Jalan Seroja, Denpasar Timur.
Kebetulan sekali hari itu juga ada perayaan ulang tahun dua personil SID, Eka yang lahir 8 Februari dan Jerinx yang lahir 10 Februari. Jadi, saya sudah mikir pasti akan ada makanan berlimpah dan mewah. Tapi, walah, ternyata mereka “hanya” makan nasi bungkus.
Ini sederhana apa pelit, sih? Wahaha..
Tukang Rakit
Bobby tinggal di Jl Padma, sekitar Kampus Universitas Ngurah Rai, Denpasar Timur. Rumah kontrakan seluas 2,8 are ini, kata Bobby, hasil main band dan jualan baju.
Hal menarik tentang Bobby adalah hobinya merakit sepeda. Dia mengaku merakit sepeda sejak masih SD. Hobi itu masih dia lakukan hingga saat ini meski sibuk ngeband. Salah satu buktinya sepedanya sekarang yang dia pakai dalam sesi foto. Sepeda ini dia rakit sendiri dari rongsokan seharga Rp 100.000. “Ini buktinya,” kata dia sambil menunjukkan foto rongsokan bodi sepeda di Blackberry-nya.
Rongsokan itu kemudian dia rakit sendiri dengan tambahan perangkat lain, seperti setir, sadel, pedal, dan seterusnya. Total habis sekitar Rp 2 juta. Weleh. Jatuhnya mahal juga, Bli. Hehe..
Selain hobi merakit sepeda, dan tentu saja gowes, Bobby juga suka mendesain. Karena itu dia juga memproduksi pakaian dengan label sendiri, Electrohell. Label ini dia buat bersama Rizal Tanjung, temannya sesama surfer. Sebelum total main musik, Bobby memang surfer. Dia juga membuat desain pakaian surfing sebelum total main musik di SID dan membuat label sendiri.
Bobby juga bercerita SID dulu main dari konser ke konser tanpa bayaran sama sekali. “Dulu diajak main saja sudah senangnya bukan main,” katanya. Honor profesioanl mereka pertama kali adalah ketika tampil di acara Granat, konser ala mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Udayana, Bali.
Waktu itu SID dibayar Rp 400.000. “Pas terima duit itu senangnya bukan main. Waah, bisa juga dapat duit dari tampil,” kata Bobby.
Tapi itu dulu. Sekarang tarif manggung SID antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta. Tapi, tarif ini sangat bisa dinego. Kalau acaranya besar plus banyak sponsor, mereka memang pasang tarif segitu. Kalau acaranya amal, mereka bersedia datang meski hanya dibayar sebotol bir atau setangkai mawar. Hehe..
Tukang Oprek
Selama sekitar 16 tahun membangun band, kini personil SID menerima hasilnya. Begitu pula Eka dengan Harley Davidsonnya. Toh, dia mendapatkan itu semua karena sejak kecil sudah terbiasa bekerja keras.
Tiap kali melihat SID tampil, saya merasa Eka berperan seperti joker, tukang bikin suasana jadi lebih kocak. Dia menghidupkan suasana dengan omongan-omongannya, terutama dalam Bahasa Bali.
Namun, pada sesi foto kami di rumah Bobby, kami minta dia berpose sangat serius dengan menghadap layar komputer. Pose ini disesuaikan dengan minatnya, internet dan komputer.
Sejatinya, Eka memang geek. Dia salah satu pelopor penggunaan internet di Bali. Sejak tahun 2000 dia sudah akrab dengan programming dan coding. Maklum, saat itu dia bekerja sebagai desainer www.baliaga.com, media harian online milik NusaBali, koran lokal yang sebelumnya bernama Nusa Tenggara.
Eka awalnya lebih banyak bekerja untuk desain grafis. Namun, karena dia disuruh mengelola website, dia kemudian belajar ngoprek website, belajar tentang program, coding, CMS, dan tetek bengek seputar website. Dalam bahasa pekerja teknologi informasi, pekerjaan semacam ini disebut ngoprek.
Hasilnya, dia makin mahir ngoprek website, mulai dari konsep, desain, sampai coding. Eka pula yang membuat website www.supermanisdead.net. “Sampai sekarang juga masih sering ngerjain pesanan website dari teman-teman,” katanya. Untuk mengerjakan pesanan website itu, Eka punya usaha sendiri di www.disposablelies.com. Eka tak mau menggunakan CMS berbasis open source, seperti WordPress, Joomla, dan semacamnya.
“Kalau pakai open source lebih gampang dibobol orang,” katanya.
Untuk semua keahliannya itu, Eka belajar secara otodidak. Dia satu-satunya personil SID yang lulus kuliah. “Karena merantau. Jadi kasian kalau sudah jauh-jauh ke Denpasar tapi tidak lulus kuliah,” katanya.
Eka lahir dan besar di Negara, Jembrana, sekitar 3 jam perjalanan dari Denpasar ke arah Gilimanuk. Kedua orang tuanya guru. Karena itu, dia mengaku punya tanggung jawab untuk menyelesaikan kuliah.
Dan, dia berusaha keras untuk menyelesaikan kuliah itu. Pada tahun kedua kuliahnya, Eka sudah mandiri. Dia bekerja di dua tempat sekaligus. Pagi di kantor Baliaga. Malamnya di tempat lain. “Aku dulu pekerja keras. Keras sekali,” katanya.
Terbiasa bekerja keras sejak kuliah itu membuat Eka juga terbiasa dengan SID yang memulai karir dari dunia indie.
Tukang Ojek
Selama mengenal SID dari media atau cerita teman, Jerinx jadi sosok paling identik dengan SID. Dalam beberapa kesempatan diskusi tentang SID yang saya ikuti, Jerinx hadir mewakili SID. Jadi, kesan dia sebagai frontman memang tak terhindarkan.
Lewat status di Facebook ataupun twit personalnya, Jerinx paling sering mengangkat isu yang bagi banyak orang mungkin kontroversial. Misalnya, radikalisme, kelompok gay dan lesbian,  dan semacamnya. Jerinx terlihat paling keras kalau ngomong. Sayang, saya tak punya cukup waktu untuk ngobrol bersamanya secara personal kecuali ketika bersama teman-temannya.
Namun, selama beberapa hari melakukan reportase tentang SID, saya menangkap hal totally different dari sosok paling gahar dan sangar di SID ini.
Hal yang membuat saya salut pada Jerinx adalah kendaraannya. Dia masih naik motor butut Supra Vit dengan nomor polisi yang sudah memutih. Motornya juga agak dekil. Motor yang sama saya lihat dipakai Jerinx saat kami bertemu di Hard Rock Radio.
Di balik nama besarnya sebagai frontman SID, band dengan fans mencapai 1,8 juta orang plus image tentang anak band yang bagi banyak orang adalah bad boy, penampilan Jerinx di luar panggung biasa saja. Dia lebih mirip tukang ojek daripada frontman band sejuta umat. Hehe..
Kamis pekan lalu, kami berencana memotret dia pas main surfing. Tapi, karena dia ada acara di Ubud, maka kami mengikutinya ke sana begitu selesai berkumpul di kantor manajemen SID.
Dia mau menunggu kami untuk berangkat bersama. Saya merasakan kehangatan dari Jerinx sebagai teman, atau setidaknya tuan rumah pada tamunya. Dia rendah hati sekali.. Sepanjang perjalanan menuju Ubud, Jerinx beberapa kali melambaikan tangan menjawab salam dari orang yang melihatnya.
Di luar urusan musik, Jerinx juga mengelola clothing sendiri dengan label Rumble. Toko ini berkantor pusat di Kuta. Kini dia membuka cabang di Ubud persinya samping pintu gerbang Museum Antonio Blanco di dekat jembatan Tukad Campuhan. Kamis pekan lalu Jerinx ke sana untuk melihat upacara adat (melaspas) toko bercat hitam dan merah tersebut.
Karena sudah sore dan capek setelah motret seharian, saya tak banyak bertanya pada Jerinx yang juga sibuk memeriksa persiapan pembukaan toko. Sore itu toko baru tersebut masih belum berisi apa pun.
Jerinx pernah jadi vegetarian antara 1997-2007. “Tidak tega saja lihat binatang disembelih,” katanya. Tapi, kini Jerinx sudah makan daging lagi. “Tidak kuat juga kalau harus selalu menghindari daging, terutama saat konser,” katanya.
Toh, Jerinx masih menghindari makan daging dari hewan berkaki empat, seperti kambing, babi, dan sapi. Pantangan semacam ini biasanya dilakukan oleh pemimpin agama Hindu di Bali, seperti pemangku dan pedanda. Tapi, Jerinx mengaku mengikuti pantangan ini bukan karena alasan religiusitas. Lebih karena alasan itu tadi, kasihan.
Alasan Jerinx itu kian menguatkan pendapat saya tentang SID dan para personilnya. Di balik gemerlapnya, di belakang jutaan penggemarnya para personil SID ini orang-orang yang amat bersahaja.. [b]